Archive for 2011

Manajemen Stres Bagi Relawan


.

"Seorang ayah marah besar melihat anaknya menolak untuk melahap sayur bayam. "Kamu harus bersyukur tinggal makan, di sana orang kelaparan tidak ada makanan!" teriak sang ayah dengan nada tinggi dan muka merah padam menahan amarah. Si anak yang baru duduk di bangku SD tidak berkutik selain tertunduk dengan mata berkaca-kaca, untung sang ibu segera datang menenangkan".

Secuil adegan ini penulis dengar dari seorang teman yang mendapati suaminya mudah emosi dan sangat sensitif setelah pulang dari tugas kemanusiaan di Aceh selama dua minggu. Organisasi tempat suaminya bergabung menerapkan sistem roling dua minggu untuk menghindari kelelahan termasuk psikis, namun mungkin belum dilakukan langkah sistematis untuk mengelola stres negatif (distres) relawannya. Salah satu dampaknya tergambar dalam cuplikan kisah di atas.
Kerja Relawan
Bencana tsunami memang sangat mengguncang dan mengundang banyak orang untuk menjadi relawan baik yang selama ini telah terlatih dan terorganisir, maupun relawan dadakan dan ‘bonek’ (bondo nekat). Belum usai trauma tsunami, gempa dengan kekuatan 8,7 skala Richter kembali mengguncang kawasan antara pulau Nias dan pulau Simeuleuh dengan arah guncangan ke selatan (sebelumnya ke utara). Gempa yang terjadi kurang lebih pukul 11 malam WIB pada Senin 28 Maret 2005 awalnya ditakutkan akan mengundang tsunami, meski tidak terjadi, namun wajah Nias dan Simeuleuh tetap porak poranda dan mengundang para relawan dari pelosok dunia untuk kembali menyingsingkan lengan. Beberapa relawan asing yang belum lama melambaikan salam perpisahan kini harus kembali untuk tahap tanggap darurat seperti mengevakuasi jenazah dan sebagainya, tidak terkecuali relawan dalam negeri yang masih terkonsentrasi di Aceh.
Membayangkan kerja para relawan ini sungguh menggetarkan hati, selain harus jauh dari keluarga, mereka juga harus berhadapan dengan prasangka yang kadang tertuju pada relawan asing atau mereka yang memiliki keyakinan berbeda dengan mayoritas masyarakat korban bencana. Penulis mendapatkan daftar kerja utama yang harus dilakukan para relawan di www.urbanpoor.or.id (08/01/05), yang dirinci berdasarkan kegiatan relawan di Aceh akibat tsunami;
  • identifikasi tempat-tempat penampungan dan kebutuhan pengungsi yang dikelompokkan dalam: lokasi, jumlah pengungsi (berdasarkan gender dan usia), kondisi makanan, kesehatan, pakaian, shelter, air dan sanitasi, juga permintaan informasi dan catatan khusus mengenai kondisi itu
  • distribusi kebutuhan tempat-tempat penampungan yang telah teridentifikasi
  • distribusi relawan ke tempat-tempat penampungan lainnya serta mendirikan Posko
  • evakuasi jenazah (korban)
  • memperbarui (update) informasi undatuk dapat dimanfaatkan pihak luar (yang berkepentingan)
  • mengusahakan logistik untuk didistribusikan
  • bongkar-muat pangan yang diangkat dan disebarkan ke wilayah pengungsian
Stressor (sumber-sumber stres) bagi Relawan
Enrenreich dan Elliot dalam Journal of Peace Psychology ,2004 , menggambarkan dengan rinci stressor bagi relawan, yaitu;
  • tuntuan fisik yang berat dan kondisi tugas (kerja) yang tidak menyenangkan
  • beban kerja yang berlebihan, jangka waktu lama dan kelelahan kronis (chronic fatigue)
  • berkurang atau bahkan hilangnya privasi dan ruang pribadi
  • jauh dari keluarga menimbulkan kecemasan pada kondisi keluarga
  • kurangnya sumber-sumber yang tepat (adequate resources) baik secara personil, waktu, bantuan logistik atau skill (ketrampilan) untuk melakukan tugas yang dibebankan
  • adanya bahaya mengancam (penyakit, terkena gempa susulan, dan sebagainya), perasaan takut dan tidak pasti yang berlebihan
  • kemungkinan melakukan evakuasi yang berulang
  • kemungkinan menyaksikan kemarahan dan menurunnya rasa syukur dalam masyarakat korban
  • secara berulang, teringat akan cerita-cerita traumatis, tragedi atau kisah yang memicu ingatan trauma individu yang telah lampau
  • beban birokratis yang berlebih atau kurangnya dukungan (suport) dan pengertian pimpinan organisasi
  • konflik interpersonal di antara anggota kelompok relawan yang di lapangan mengharuskan mereka untuk dekat dan saling bergantung pada waktu cukup lama
  • perasaan tidak berdaya kala menghadapi tuntutan yang melewati batas (overwhwelming need)
  • perasaan sakit karena tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada
  • dilema moral dan etika
  • harus mampu menjaga netralitas (sikap netral) jika berada dalam situasi politik yang terpolarisasi
  • perasaan bersalah melihat korban bencana tidak memiliki makanan, tempat bernaung dan kebutuhan hidup lain.
Rentetan tugas di atas menampilkan emosi-emosi negatif yang sangat mungkin hinggap dan dialami relawan, seperti 'burnout', 'compassion fatigue', 'vicarious' atau secondary traumatization, direct posttraumatic stress syndromes (akibat menyaksikan langsung peristiwa traumatis), depresi, pathological grief reactions, kecemasan, 'over-involvement', atau 'over-identification' dengan masyarakat korban bencana.
Ilustrasi kecil di awal tulisan merupakan contoh dari timbulnya keterlibatan atau identifikasi berlebih dalam diri relawan terhadap masyarakat Aceh yang terkena bencana. Keterlibatan berlebih ini menyeret emosi relawan hingga menimbulkan perasaan bersalah yang berlebih juga saat kembali ke 'dunia'nya di mana makanan begitu mudah didapat dan dikonsumsi.
Manajemen Stres untuk Relawan
Besarnya kemungkinan relawan mengalami distres, maka sudah menjadi kebutuhan bila organisasi relawan yang ada mengambil langkah-langkah sistematis untuk mengurangi stres anggotanya. Enrehreich dan Elliot dalam studinya menemukan banyak relawan yang telah kembali dari tugas ternyata tidak mendapatkan dukungan simpatik terhadap distres yang mereka alami. Terdapat pula budaya 'macho' dalam organisasi relawan, yakni adanya kecenderungan menolak atau mengingkari dampak psikososial dari pekerjaan kemanusiaan yang penuh tekanan. Bagi sebagian kalangan, menjadi relawan seolah-olah melambungkan orang dan kelompoknya sebagai 'superhero' yang tentu tidak membutuhkan perhatian simpatik.
Dalam tiga konferensi "Managing Stress in the Humanitarian Aid Worker" terakhir (dua di antaranya disponsori oleh Antares Foundation & the U.S Center for Disease Control, September 2001 & 2002; konferensi ke tiga diselenggarakan oleh Action Without Borders and Peace Brigades International, Maret 2004), menyatakan, "Nececity of addressing the psychological impact of the humanitarian aid work is beginning to penetrate the humanitarian aid community."
Survey pada tahun 1997 melalui telepon yang dilakukan McCall & Salma mengungkap bahwa sebagian besar organisasi relawan belum mengembangkan mekanisme suport psikologis bagi relawannya. Enam tahun kemudian, mulai terlihat usaha tersebut meski dipandang belum maksimal oleh Ehrenreich & Elliot. Menurut mereka, sudah saatnya diperlukan usaha untuk mengembangkan seperangkat standar minimum yang jelas bagi 'kesejahteraan psikologis' relawan, dan ini merupakan tantangan besar secara internal bagi dunia organisasi kemanusiaan. Usaha ini akan jauh menguntungkan relawan di masa mendatang juga dunia secara umum.
Relawan di Indonesia
 
Sejak tsunami menyapu kawasan paling barat Indonesia, kita kebanjiran relawan dari dalam maupun luar negeri, yang terlatih juga yang nekat. Namun cukup banyak LSM yang tidak sekedar 'bonek' turun mengevakuasi mayat, mengeluarkan korban yang terjepit di reruntuhan, mendata korban dan banyak lagi. Sepatutnyalah Indonesia mengucap terima kasih setulus-tulusnya pada 'pahlawan kemanusiaan' ini.
Pada pihak lain, kita harus segera serius membentuk relawan yang permanen dalam arti secara organisasi, program, pelatihan, termasuk melindungi relawan dengan manajemen stres yang sistematis dan terlatih. Bencana alam tidak terbatas pada gempa bumi atau tsunami, melainkan juga tanah longsor baik akibat alam maupun kecerobohan pengelolaan manusia (terutama pemegang otoritas) seperti musibah longsor sampah di Leuwigajah. Bencana kekeringan yang mengancam sodara kita di Nusa Tenggara Timur juga hendaknya masuk agenda organisasi relawan.
Luasnya wilayah Indonesia dan kondisi alam yang ada membutuhkan relawan yang terlatih dan terorganisir baik dari pemerintah maupun non pemerintah. Sudah seharusnya negeri ini memiliki 'dana abadi' untuk bencana alam yang bisa terjadi setiap saat, bukankah para ahli geologi menyatakan bahwa pergeseran lempeng bumi masih dan akan terus terjadi? Usaha pencegahan pun harus segera berbenah secara serius dengan studi dan teknologi tinggi serta komunikasi efektif dengan masyarakat termasuk organisasi relawan.
Relawan adalah manusia biasa, ia memiliki resiko sangat besar dampak psikologis dari tugas kemanusiaan yang diemban, karenanya ia berhak mendapat perlindungan diri tidak hanya secara fisik, namun ada yang lebih laten yaitu dampak psikososial. Penulis berharap tulisan ini dapat menambahkan sedikit gambaran lebih jelas akan penting dan beratnya tugas relawan. Sebagai manusia biasa, relawan juga membutuhkan 'bekal' dan 'senjata' untuk menangani distres dalam tugasnya. Sehingga, ketika mereka kembali ke dunia 'normal', ia bisa kembali menyesuaikan diri dan menerima kenyataan yang jauh berbeda dari tempat tugas.

PESAN PADA HARI RELAWAN SE-DUNIA


.

Pada Hari Relawan Se-dunia yang tahun ini jatuh pada akhir tahun yang ditandai oleh kenaikan harga pangan dan BBM, perubahan iklim yang drastis dan gejolak pasar keuangan dunia
Telah dilakukan banyak seruan untuk sumber guna melawan permasalahan ini. Bagaimanapun juga, sering kali, tindakan sukarelawan dikenali sebagai potensi besar dan sumber yang kuat untuk menyatukan orang-orang dalam mengusung perdamaian dan pembangunan. Meski demikian, program Relawan PBB mengirimkan 7,500 relawan setiap tahunnya untuk mendukung usaha pembangunan nasional, dan jutaan relawan lainnya memberikan kontribusi berupa waktu dan tenaga.
Baru-baru ini saya mengetahui ada perempuan berumur 70 tahun yang telah berkeliling separuh dunia dari New Zealand untuk menjadi sukarelawan di Liberia dengan misi perdamaian PBB dan bergabung dengan masyarakat setempat dalam mendukung  Program relawan untuk pemuda nasional dalam pemerintahan yang baru
Seperti yang diperlihatkan oleh contoh ini, setiap hari, masyarakat di seluruh dunia mengkontribusikan pengetahuan dan tenaga mereka sebagai relawan. Melalui fasilitas seperti layanan sukarelawan UNV Online, setiap orang dapat menjadi relawan untuk perdamaian dan pembangunan tanpa dibatasi halangan waktu dan fisik.
Bentuk budaya dan definisi relawan dapat berubah tergantung lingkungan, tetapi prinsip utama yang tidak pernah berubah: setiap individu dapat membuat perbedaan dalam masyarakat.
Melebihi dari mempromosikan sesuatu yang baik, para relawan memperkaya hidup mereka sendiri. Seperti yang dikatakan salah seorang relawan,”Saya merasa dapat membawa perubahan untuk dunia dan dapat menggunakan kemampuan saya. Hal ini membuat saya merasa sebagai bagian dari komunitas dunia.”
Semangat mementingkan orang lain dalam jiwa sukarelawan sangat besar dan selalui diperbarui. Pada Hari Relawan Se-dunia ini, saya mendorong semua anggota komunitas global kita untuk memberdayakan cadangan besar energi dan inisiatif ini

Jenis dan peran relawan


.

Pada organisasi yang sederhana, latar belakang relawan yang dibutuhkan tidak terlalu macam-macam. Bisa anak sekolah, boleh sarjana. Terbuka untuk yang punya keahlian khusus maupun tidak. Sebaliknya, organisasi besar dan kompleks biasanya semakin banyak membutuhkan relawan dari berbagai latar belakang.
Secara umum, tugas relawan dalam organisasi dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: mengambil keputusan atau kebijakan, mencari dana untuk membiayai kegiatan organisasi, membantu terlaksananya kegiatan untuk pencapaian tujuan organisasi.
Dalam sebuah organisasi kita bisa saja menjadi relawan sesuai dengan peran yang kita pilih, misalnya:

  • Relawan Kebijakan, yaitu relawan yang menjadi pengurus organisasi, merumuskan kebijakan-kebijakan umum organisasi. Untuk ini biasanya dipilih dari dan oleh anggota organisasi.
  • Relawan Lapangan, yaitu yang langsung melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasi di lapangan tanpa mengharapkan imbalan material.
  • Relawan Sesaat, yaitu relawan yang hanya memberikan kontribusi pada saat-saat tertentu saja, tidak mengikatkan dirinya pada organisasi. Biasanya memberikan kontribusi sebagai narasumber dalam kegiatan tertentu saja.
  • Relawan Ahli, yaitu memberikan keahlian pada organisasi, baik melalui pemberian informasi maupun konsultasi. Memberikan masukan dalam arah kebijakan program dan organisasi sebagai bahan pertimbangan pengurus menetapkan kebijakan.
Motivasi relawan
Kalau menjadi relawan, tentu kita punya motivasi yang berkaitan dengan “mengapa” kita bersedia menjadi relawan suatu organisasi. Umumnya motivasi menjadi relawan dapat digolongkan dalam:
  1. Keagamaan. Orang melakukan sesuatu bagi sesamanya sebagai amal saleh atau perbuatan baik, dengan harapan mendapatkan balasan dari Tuhan.
  2. Rasa kesetiakawanan yang tertanam dalam hati sanubari. Orang berbuat sesuatu karena dorongan hati untuk berbuat sesuatu bagi kemanusiaan.
  3. Kebutuhan sosial. Orang aktif di organisasi, melakukan sesuatu karena dorongan untuk menjalin hubungan sesama manusia, sebab manusia merupakan makhluk sosial.
  4. Aktualisasi diri. Orang melakukan sesuatu karena dia ingin mengekspresikan dirinya, ingin berprestasi, berbuat terbaik.
Sebuah organisasi biasanya menempatkan kita sebagai relawan pada posisi tertentu, berdasarkan motivasi diri kita. Ada tiga jenis orang berdasarkan motivasinya:
Orientasi pada hasil karya (need for achievement). Ciri-ciri: suka pada pemecahan suatu masalah, ingin mencapai hasil terbaik, dan senang berjuang. Tipe ini cocok diberi tugas, antara lain, penggalian sumber dana (fundraising), kampanye atau promosi, dan mengetuai suatu panitia yang mempunyai tugas khusus.
Orientasi pada kekuasaan (need for power). Ciri-ciri: menaruh perhatian pada kedudukan dan reputasi, butuh mempengaruhi, senang mengubah pikiran orang lain, dan senang memberi nasihat (walaupun tanpa diminta). Jenis ini pas untuk pekerjaan penggalian sumber dana (fundraising), ceramah di muka umum atau public speaking, dan kepanitiaan dalam bidang yang berkaitan dengan perhatian publik.
Orientasi pada afiliasi (need for affiliation). Ciri-ciri: senang berhubungan dengan orang lain, ingin disukai, serta senang menghibur dan menolong orang lain. Tugas yang pas untuk tipe ini: pengelolaan keanggotaan, komite pembinaan relawan, dan lain-lain.
Ada juga jenis lain atas penampilan orang-orang yang memiliki kepedulian sosial, yaitu: impulsive helper, mechanical conformist, rational organizer, solid plodder, the rebel, dan solitary.
1. Impulsive Helper
Orang yang mendasarkan kepeduliannya pada perasaan pribadi, tampil sebagai orang yang mudah trenyuh pada penderitaan orang lain, dan secara impulsif ingin menolong melalui kegiatan-kegiatan karitatif atau derma. Relawan yang berpenampilan seperti ini lebih banyak dilibatkan pada kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat karitatif.
2. Mechanical Conformist
Orang yang mempunyai kepedulian sosial cukup, tetapi terjebak dalam tata kerja yang birokratik. Mereka akan menjadi birokrat yang merasa memperhatikan rakyat, tetapi hanya di balik meja dan cenderung menolak perubahan. Relawan yang berpenampilan seperti ini lebih banyak dilibatkan pada kegiatan yang tidak menuntut inovasi.
3. Rational Organizer
Orang yang mengandalkan pada pikiran rasional yang didasari data ilmiah. Kelemahannya, yaitu pada ketidakmampuannya untuk bereaksi secara tepat ketika teorinya berbenturan dengan kenyataan di lapangan. Relawan yang berpenampilan seperti ini lebih banyak dilibatkan pada kegiatan yang berkaitan dengan perencanaan.
4. Solid Plodder
Orang yang mampu menyeimbangkan antara emosi, ketrenyuhan, pikiran rasional, dan kesadaran akan keterbatasan kemampuannya. Relawan yang berpenampilan seperti ini lebih banyak dilibatkan pada kegiatan yang berkaitan dengan perencanaan dan kegiatan operasional lapangan.
5. The Rebel
Orang yang disebut “pemberontak”, mempunyai kepedulian yang tulus, tetapi ingin menyelesaikan masalah dengan radikal. Kelompok ini cenderung membentuk LSM (organisasi) “asal beda”, misalnya jika pemerintah bilang “A”, mereka harus bilang “B”. Relawan yang berpenampilan seperti ini lebih banyak dilibatkan pada kegiatan yang berkaitan dengan advokasi (membela orang lain melalui jalur hukum).
6. Solitary
Orang yang bekerja sendirian, tidak melalui kelompok atau organisasi. Relawan yang berpenampilan seperti ini lebih banyak dilibatkan pada kegiatan yang tidak menuntut “kerja sama langsung”, jenis pekerjaan yang dapat dikerjakan dengan ketekunan sendiri, misalnya dalam desain grafis.

Dubes AS Ambil Sumpah Relawan Pearce Corps yang Bermitra dengan UMM


.

MALANG, (PRLM).- Duta Besar Amerila Serikat untuk Indonesia Cameron Hume hari ini mengambil sumpah 19 relawan Peace Corps. Kelompok ini menjadi yang pertama yang akan mulai bertugas menyusul penandatanganan perjanjian pada Desember 2009 antara Indonesia dan AS untuk menghadirkan kembali Peace Corps di Indonesia. Seperti disampaikan Kedubes AS via pers release kepada "PRLM", Kamis (3/6), upacara pengambilan sumpah berlangsung di Malang, Jawa Timur di mana para relawan ini telah menjalani masa pelatihan sebelumnya.
Peace Corps bermitra dengan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam program bahasa, lintas budaya, dan pelatihan teknis. Para relawan Amerika ini akan mulai bekerja selama dua tahun sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah menengah di Jawa Timur dan Madura. Ke-19 relawan ini mewakili keberagaman AS yang luas.
Sementara itu, Wakil Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Bambang Sutedjo, bersama Duta Besar Hume, juga ikut menyambut para relawan tersebut di Indonesia. Sebelumnya, Sutedjo telah menandatangani perjanjian untuk kerjasama ini di bulan Desember 2009, sebagai wakil dari Pemerintah Indonesia. “Peace Corps sangat gembira dengan sambutan yang diterima para relawan kami dari pemerintah dan rakyat Indonesia,” kata Direktur Peace Corps Aaron Willams dari markas besar organisasi ini di Washington, D.C.
“Sambutan tersebut adalah bukti dari makin berkembangnya ikatan antara rakyat Indonesia dan Amerika. Kami yakin bahwa para relawan kami akan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan rasa pengertian dan kebersamaan lewat kegiatan mereka sebagai guru serta lewat pengapresiasian dan penghormatan mereka atas kebudayaan Indonesia. Sejak kedatangan mereka pada bulan Maret, para relawan tersebut memfokuskan kegiatannya untuk belajar Bahasa Indonesia dan merasakan budaya Indonesia dengan tinggal bersama dengan keluarga Indonesia di Malang," jelas Aaron.
Dubes Hume menyadari bahwa karirnya dimulai sebagai relawan Peace Corps, maka ia mendorong para relawan tersebut untuk memanfaatkan ketrampilan mereka dalam mengajar bahasa Inggris serta kemampuan mereka berbahasa Indonesia yang mereka peroleh belum lama ini untuk meningkatkan hubungan antarmasyarakat. “Peace Corps menumbuhkan perdamaian, persahabatan dan saling pengertian,” kata Duta Besar.
“Kegiatan Anda di sini mendukung Kemitraan Komprehensif baru antara Indonesia dan Amerika Serikat. Anda berkontribusi pada kerjasama pendidikan di tingkat masyarakat akar rumput dan Anda akan memperoleh keuntungan dari persahabatan dan pengalaman baru yang Anda temui.” katanya. (A-133/das)